“Tapi Pak, saya tidak seburuk yang Bapak duga, atau mungkin yang mereka duga,” sergahku dengan lantang.
“Jadi kau anggap aku atau mungkin bahkan mereka semua telah tidak bisa menilik, menelaah dan menilai mana yang baik dan mana buruk?” Tanya sinis Pak Kajur padaku.
“Saya lakukan ini semuanya agar saya bisa bertahan hidup ditengah hutan belantara kecil yang bernama kota, tepatnya Yogyakarta Pak.”
“Dengan menjual keindahan tubuh maksudmu? Iya? Dengan meliuk-liukkan tubuhmu diatas sebuah stage memancing hembusan syahwat lelaki?”
“Maaf Pak antara menari dan memancing syahwat kaum Bapak itu adalah dua hal yang sangat jauh berbeda.”
“Jauh tempatnya maksudmu?” Pak Kajur melirik rendah.
“Maksud Bapak apa?”
“Jangan bergaya bodoh seperti itu!”
“Maksud Bapak saya menjual diri saya secara fisik? Membiarkan setiap lelaki menikmati kulit saya dengan menjamahnya? Maaf Pak saya masih punya harga diri.”
“Tahu apa kamu tentang harga diri?”
“Saya masih memiliki harga diri Pak selama orang-orang berduit banyak dengan birahi diujung tanduk itu tak bisa menaksir berapa lembar uang ratusan ribu untuk menebus tubuh saya.”
“Tetapi bukankah dengan membiarkan mereka melihat tubuhmu itu sama saja kau juga menjual dirimu?”
“Itu berbeda.”
“Apa bedanya?”
“Menari itu butuh ketrampilan Pak, mereka yang datang menikmati setiap gerakan yang dilakukan oleh tubuh saya bukan menikmati tubuh saya yang bergerak, itu perbedaannya. Dan sekali lagi itu sangat jauh berbeda.”
Diam.
“Ok, sepertinya kita jauh meleset dari tujuan awal kita untuk bertemu...Namun begini kampus kita ini adalah kampus dengan latar belakang agama...”
“Lalu saya dianggap kotoran yang termasuk najis mugholadoh yang setara dengan air liur anjing yang harus disingkirkan dari kampus yang bersih ini yang dengan susah payah saya mencoba agar bisa tetap kuliah yang...”
“Biarkan aku selesaikan dulu perkataanku Asti, bisakan kamu sabar sejenak dengan mendengarkan penjelasan dari aku?”
“Baik Pak, asal jangan Bapak katakan bahwa saya harus meninggalkan kampus ini.”
“Begini, saya mencoba mengerti dengan apa yang terjadi pada dirimu. Kamu telah bercerita panjang lebar tentang keadaanmu, bagaimana kehidupan keluargamu yang hidup dengan hanya mengandalkan pertanian tadah hujan dan uang pensiunan janda dari Bapakmu yang dulu bekerja sebagai pesuruh sekolah, kehidupanmu yang kini menjadi anak yatim dimana Ibumu harus menanggung semua beban keluarga dan ketiga adikmu.”
“Terimakasih Pak.” Kataku lirih.
“Tapi kan begini Asti, di dalam hidup ini tersedia banyak pilihan yang jika kita jeli melihat maka pilihan itu bagaikan pasir di atas pantai.”
“Jadi menurut Bapak bahwa saya adalah termasuk orang yang tidak jeli melihat pilihan itu tadi?”
“Menurutmu sendiri bagaimana.”
“Kalau Bapak bertanya menurut saya tentu saja saya telah mengambil sebuah langkah yang benar dengan mencoba hidup mandiri, tidak menggantungkan kehidupan kepada orang lain bahkan kepada orangtua sendiri, saya hanya mencoba untuk mandiri itu saja.”
“Iya kamu tepat dalam hal ini bahwa kamu harus lepas dari ketergantungan, hanya saja caramu itu lho Asti, kau melupakan dimana kau hidup tak sendiri ada banyak mata yang menilai setiap yang ditampakkan oleh kita.”
“Karena saya menjadi seorang penari dan tidak jarang harus tampil diklub-klub malam?”
“Pakaianmu,”
“Pakaian saya?”
“Dan image masyarakat tentang seorang penari diklub malam.”
“Memangnya bagaimana ada yang salah dengan seorang penari Pak?”
“Tidak, bukan hanya pada penari beserta pakaiannya Asti, tapi juga tempat dimana dia menari.”
Sunyi, hanya suara desir hembusan air conditioner yang sedikit mengusiknya. Aku menghela nafas sejenak mencoba meredam yang bergejolak di dada sampai akhirnya mulutku bisa kembali terbuka.
“Pak, memang saya akui pakaian yang saya pakai itu bukan termasuk pakaian yang dapat menutup rapat setiap jengkal tubuh saya dengan sempurna. Saya terkadang memakai kaos street lengan pendek atau short pants yang menurut kampus ini adalah sebuah larangan besar bagi keduanya,”
“Dan ingat Asti bahwa pakaian adalah cerminan jiwa si pemakai,”
“Walaupun saya terlihat murahan dengan pakaian seperti itu namun saya masih menjaga prinsip saya sebagai wanita Jawa pak.”
“Maksudmu?”
“Pantang bagi saya untuk menjadikan keperawanan atau apapun itu namanya sebagai sebuah komoditas, saya masih suci.”
“Namun dengan melihat kenyataan yang ada pada dirimu seperti itu dan dengan image yang begitu keras siapa yang percaya?”
“Baiklah, jika pihak kampus tidak percaya saya berani untuk tes keperawanan biar mereka juga tahu bahwa keperawanan bukan hanya milik wanita berkerudung besar dan pandai mengaji saja.”
“Masalah ini bukan hanya berhenti pada keperawanan semata namun seperti yang Bapak sampaikan tadi,”
“Masalah tempat saya menari dan image pekerjaan yang saya lakoni untuk menyambung hidup ini?”
“Dan itu adalah bagian yang tak dapat dipisahkan,”
Terdiam lagi.
“Pak, seandainya saya menari dengan pakaian yang sama dikampus ini apakah pandangan orang juga akan berubah?”
“Tidak aku pikir.”
“Mengapa tidak? Jika tadi masalahnya karena tempat dimana saya menari adalah sebuah klub malam sehingga orang-orang mencibir saya.”
Diam berpikir.
“Atau jika karena pakaian, bagaimana kalau saya menari dengan pakaian yang sangat tertutup bahkan sampai udara kesulitan untuk melintasi tubuh saya dan saya lakukan di cafe atau klub malam apakah saya masih dianggap sebagai sebuah benda bersih?”
“Tidak juga.”
“Lalu jika semua tidak apakah Bapak bisa memberi saya sebuah solusi terbaik agar saya bisa dianggap bersih?”
“Berhentilah dan carilah peluang yang lebih baik!”
“Maksud Bapak saya berhenti menjadi penari?”
“Saya yakin itu lebih baik.”
“Lalu bagaimana saya melanjutkan kuliah?”
“Bukankah kamu bisa menjadi tentor bagi anak SD atau SMP, atau menjadi part-timer pada persewaan CD atau ditempat lain yang kamu cocok.”
“Pak, saya menari bukan hanya berhenti pada alasan recehan saja namun lebih dari itu Pak.”
“Bukannya pada dasarnya kamu itu mencari uang untuk biaya kuliah kamu dan bertahan hidup disini?”
“Itu salah satu alasan bagi saya Pak.”
“Lalu apa alasanmu yang lain?”
“Karena saya suka menari.”
0 komentar:
Posting Komentar