Kamis, 23 Desember 2010

Tekad Segitiga


“Maaf.” Kata pertama yang muncul dari mulutku untuk sedikit menurunkan tensi pembicaraanku dengan Ki Soma. “Tapi setelah saya renungkan ini bukan yang terbaik.”
“Bukan yang terbaik bagaimana maksudmu Broto?” Tanya Ki Soma, sang paranormal sekaligus juga Pakdhe-ku.
“Saya pikir ini terlalu berisko.”
Kan sudah tak bilangin waktu itu, kalau ingin membeli mobil yang semakin bagus maka kamu pun harus mengeluarkan uang yang lebih banyak pula.” Katanya sembari menyulut rokok klembak menyan keduanya sejak kami mulai berbincang. “Ini sudah hukum alam Le, tidak bisa ditawar apalagi ditolak.”
“Tapi....”
“Atau jangan – jangan kamu tidak percaya dengan kemampuan Pakdhe-mu ini?”
“Ya bukan seperti itu Pakdhe hanya saja...”
“Hanya saja apa?”
“Ya itu tadi.”
“Resiko?”
“Mungkin.”
Kami berdua terdiam. Kembali lagi segelas teh manis yang telah dingin aku masukkan kedalam mulutku. Pun juga Pakdhe nyruput teh tubruk yang aku yakin pasti telah dingin pula.
“Itu nagasarinya buatan Budhemu di makan!” Kata Pakdhe pecahkan hening.
Nggih.” Sambil aku ambil satu untuk melegakan hatinya.
Sebenarnya aku merasa malu dengannya karena tidak sembada dengan kata – kataku. Masih jelas didalam ingatan waktu Pakdhe memberikan selembar kertas setelah aku merengek – rengek agar di bantu untuk menakhlukkan hati si Ani anak Pak Lurah. “Ini nanti kamu baca saat mau tidur sambil membayangkan wajah si Ani!” Pesan Pakdhe kepadaku . “Nanti kamu puasa ngebleng selama 7 hari 7 malam dan pategeni sehari semalam, kamu mulai puasa pada hari Jum'at Pahing.” Imbuhnya kala itu. Dan ini seharusnya adalah hari ketujuh aku melaksanakan petunjuknya.
Kertas itu kembali aku buka.”Ingsun amatak ajiku si jaran goyang, tetenger tengahing pasar gegamana cemethi sodo lanang saking swargo sun sabetake gunung jugrug segoro asat bumi bengkah sun sabetake atine si jabang bayi Ani teko welas teko asih andeleng badhan sliraku manut miturut opo sakarepku.” Dan tulisan itu masih begitu jelas terbaca dibawah penerangan lampu 10 watt pendapa rumah ini.
“Hanya satu langkah lagi seharusnya.” Suara berat Pakdhe kembalikan aku ke tempat semula. “Jika kamu itu bukan Broto anak dari Santoso suwargi adik kandungku tidak akan aku memberikan ajian itu.”
“Maaf telah membuat Pakdhe kecewa.”
“Karena aku, Pakdhemu ini, ingin melihat kamu sebagai prunan-ku bahagia.” Sambil menatap lembut aku yang sedari tadi tertunduk. “Hanya itu saja, tidak ada maksud lain.”
“Saya ngerti maksud Pakdhe, apa lagi setelah bapak di panggil-Nya hanya Pakdhe tempat Broto bercerita.” Kataku lirih. “Tapi ya itu tadi masalahnya.”
“Apa karena kau berpikir ini diluar akal seorang sarjana fisika sepertimu?”
“Tidak juga, karena banyak hal yang tidak bisa kita jelaskan dengan akal kita.”
“Lalu apa yang menyebabkan keinginan menggebumu itu hilang?”
“Keinginan mana maksud Pakdhe?”
“Menakhlukkan Ani itu.”
“Ooo itu? Masih Pakdhe, masih ada.”
“Tapi buktinya kamu batalkan puasamu pada hari ketujuh.”
“Itu tidak ada hubungannya dengan keinginanku kepada Ani Pakdhe.”
“Lalu apa kalau bukan? Ada gadis lain?” Tanya Pakdhe meyakinkan pendapatnya.
“Bukan juga” Jawabku pelan. “Aku sudah madhep mantep sama Ani, walaupun kemarin sempat ditolaknya.”
“Iya dan itu yang akhirnya membuat kamu mbebek’i, malam – malam kamu ke sini.”
“Jujur saja, katakan kepadaku mengapa tiba – tiba kamu berubah pikiran?”
“Karena resiko itu tadi Pakdhe.”
“Resiko yang mana? Bukankah sudah aku bilang ini itu tidak ada tumbal pada dirimu maupun juga anak turunmu kelak. Tidak ada seret jodoh juga bagi mereka. Ini aman.”
“Iya kemarin Pakdhe juga sudah menjelaskan kepadaku panjang lebar.”
“Lalu apa?” Tanyanya semakin mendesak. “Padahal jika kamu melakukan dengan benar besok Jum’at itu jatuh pada tanggal 1 Sura, dan itu hari baik”
“Itu juga salah satu alasanku.”
“Alasan?”
“Iya, 1 Sura adalah hari baik bagi siapa saja di keluarga besar kita baik yang kejawen seperti Pakdhe maupun juga bagi Om Basuki adik Pakdhe yang lulusan Mualimin itu.”
“Lalu jika kamu tahu kenapa kamu batalkan?”
“Karena aku takut.”
“Takut gagal?”
“Tidak juga, karena aku yakin bisa melakukan itu dengan baik.”
“Lalu takut apa?”
“Kutukan.”
“Kutukan? Kutukan apa?”
“Kutukan hari baik, kutukan awal tahun. Kutukan dari Gusti”

0 komentar:

Posting Komentar